Mengapa Kamu Memilih Puisi Dari Penyair Tersebut

tirto.id - "Bung! Kau adv pernah harga sebuah sajak?"

Pertanyaan itu dilontarkan Amsir, penyair prediksi Misbach Yusa Biran dalam "Akhirnya Saya Bisa Pun Ketawa"—salah satu cerita dalam kompilasi cerpen Ketakutan di Pasar Senen (2007).

"Tidak. Saya belum pernah jual-beli tembang," jawab motor saya, si pencerita.

Pasca- Amsir menatap mencolok lawan bicaranya dan menyebutnya sebagai orang nan bukan mengarifi sajak, sang penyair kemudian memintanya untuk menaksir harga sebuah sajak.

"Seringgit…eh…seringgit, tiga sepotong boleh jadi. Lima selaka."

"Dua desimal panca!"

"Dua puluh panca dolar?"

"Ya! Saya n kepunyaan catur sajak yang pasti dimuat."

"Jadi, seratus rupiah."

"Betul. Tapi kini ini saya sekadar memerlukan dua puluh lima saja. Sekarang ini, mesti betul. Boleh kasi pinjaman pada saya…?"

Penyair, makhluk berpunya yang honornya seuprit, lain jarang dinilai masyarakat dengan pandangan yang mendua. Di satu sisi mereka dianggap istimewa lantaran intens bergulat dengan bahasa (juga intelektualitas serta sensibilitasnya atas perasaan dan persoalan sukma individu), sedangkan di sisi lainnya bahkan dicemooh seumpama masyarakat kelas tiga karena, salah satunya, elusif punya uang saja keukeuh menempatkan ego di atas segalanya.

"Saya tidak bisa dipaksa mengarang bagi cari duit. Jadi, janganlah dipaksa saya lakukan mencari duit dengan jalan membuat sajak-sajak itu," komentar Chairil Anwar kepada istrinya, Hapsah.

Dalam Chairil (2016: 231), Hasan Aspahani menunjukkan bahwa pada zaman diseminasi jasad sajak Chairil dihargai Rp50 komisi ORI (bandingkan dengan honor sajak hari 1950-an, latar waktu pada narasi penyair Amsir). Dalam estimasi Hapsah, roh rumah tangganya dengan Chairil akan berlangsung seremonial sekiranya lelaki asal Panggung itu makmur melansir karyanya tiga mungkin dalam sebulan. Namun apa pusat, Chairil melembarkan perkembangan syair ketimbang manut pada pertimbangan logis pasangannya.

Dalam epilog Aku Ini Satwa Jalang (2007: 100) Sapardi Djoko Damono menyapa Chairil Anwar sebagai lambang kesenimanan Indonesia, menyenggangkan nama-cap yang makin senior seperti Rustam Effendi, Sanusi Pane, maupun Amir Hamzah.

Dalam karya Chairil memang tertuju sajak-sajak yang mumbung kehidupan, kesegaran gaya ucap yang bahkan terkesan melewati zaman, serta perenungan yang masak. Namun pron bila bersamaan, dalam hidupnya nan singkat berkelindan pula seperanggu perkara yang identik dengan citra seniman—keadaan-hal yang setakat sekarang enggak lalu-adv amat melahirkan banyak anekdot: tidak punya pencahanan tegar, demen keluyuran, jorok, selalu kekurangan tip, penyakitan, dan tingkah lakunya menghampakan.

"Plong masa hidup penyair itu, sejumlah artis kita—sastrawan, pelukis, dan komponis—tentunya juga menjalani hidup bohemian. Internal rataan per, Ismail Marzuki, Affandi, dan Sudjojono tentu enggak bisa dianggap lebih abnormal dari Chairil Anwar, belaka dalam kehidupan bohemian penyair inilah yang dianggap mewakili mereka," cerah Sapardi.

Lepas terbit soal tepat-kelirunya anggapan di atas, para penyair di seluruh negeri bisa bertempik sorak selepas UNESCO (sejauh Sidang Publik ke-30 di Paris Tahun 1999—tahun ini 22 tahun lalu) menjadwalkan tanggal 21 Maret sebagai Hari Puisi Sedunia.

"UNESCO mengakui kemampuan khusus puisi dalam menangkap nasib kreatif pikiran manusia," demikian riuk suatu obstulen keterangan pada situs resmi mereka. Tentang tujuan dirayakannya Perian Puisi Sedunia—di samping meluhurkan para penyair—yakni kontributif keragaman linguistik melalui ekspresi puitis dan meningkatkan kesempatan lakukan bahasa yang terancam punah cak bagi didengar.

Penyair Indonesia: Surplus dalam Jumlah dan Ribut-Ribut

Dengan atau minus perayaan Tahun Puisi Sedunia, minat orang Indonesia terhadap syair tampaknya senantiasa semarak. Sekurang-kurangnya, hal tersebut dapat diukur lewat dua keadaan. Pertama, besaran naskah dan peserta yang ikut variasi-macam perlombaan; kedua, ribut-ribut nan mengemuka di sosial kendaraan.

Sebagai paparan nan pertama, pada 2015, ketika Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menggelar Sayembara Manuskrip Buku Puisi bagi pertama kalinya, naskah yang masuk mencapai 572 bebat. Sementara itu Yayasan Periode Tembang Indonesia (HPI), yang kerumahtanggaan kurun satu dasawarsa terakhir rutin menggelar Pertandingan HPI, mencatat pada 2020 lalu ada 823 buku sajak (ditulis oleh 527 penyair) masuk ke meja panitia. Diketahui, kegiatan yang sejajar sreg masa sebelumnya "sekadar" berhasil menjaring 207 buku peserta.

Di asing sayembara, Yayasan HPI juga luang merilis rahasia tebal Segala dan Siapa Penyair Indonesia (2017). Internal edisi revisi, berbunga dua hari kemudian, penyair yang terdata di situ jumlahnya 1627 orang, memfokus sejak musim 1629 hingga 2018.

Tentang adapun bertikai-ribut di sosial media, para penyair Indonesia seolah enggak kawin kehabisan bahan bakar. Gerakan tembang esai Denny JA, rencana Ahmad Yulden Erwin menyusun buku 100 Penyair Kontemporer Indonesia, hingga produksi Film Puisi Satwa Jalang (sutradara meniatkan dialog-dialog internal gambar hidup ini menunggangi puisi Chairil Anwar, namun malah mengutip baris-jejer curahan hati seorang blogger tak dikenal) adalah tiga paradigma betapa riuhnya perbincangan di dunia internet perpuisian Indonesia.

Saut Situmorang, penyair yang adv pernah dimejahijaukan lantaran pendiriannya menentang operasi sajak-esai Denny JA, menjernihkan alasan mengapa para penyair silau lebih aktif (bahkan lebih berisik) daripada penulis prosa.

"Kalau kita perhatikan sejarah Sastra Indonesia, maka akan terbantah betapa para penyairlah nan memang minimum kritis berpangkal arah akademikus. Lihat belaka siapa yang dianggap perumpamaan dedengkot-tokoh penting sejarah Sastra Indonesia sejak Angkatan Pujangga Baru. Sejak Polemik Kebudayaan pada waktu 1930-an, perdebatan-perdebatan penting sastra pun rata-rata dimotori oleh penyair. Rendra dan Wiji Thukul diakui sebagai ahli sastra besar Indonesia yang silam peduli atas permasalahan sosial strategi bangsanya. Temporer dari dunia prosa/fiksi cuma Pramoedya Ananta Toer yang mempunyai etiket seterkenal mereka," beber Saut, Jumat (19/3).

Supaya sedemikian itu, anak adam gimbal jebolan University of Auckland, Selandia Baru, ini pun menegaskan bahwa fenomena 'penyair berisik" bukanlah fenomena idiosinkratis Indonesia. Di negeri mana pun, kabilah penyair memang comar "lebih berisik" tinimbang para penulis prosa: Walt Whitman dan Ezra Pound lampau kaum Beat di Amerika; WB Yeats, TS Eliot, para Imagis di Inggris; para penyair Surealis di Prancis; para penyair Negritude di Prancis dan Afrika; setakat Pablo Neruda di Chili.

"Mengapa? Ya, kayak nan aku bilang di atas mana tahu karena para penyair memang kian paham secara intelektual dan berani mengutarakannya," hubung Saut.

Maaf dari urusan ribut-bertelingkah, surplusnya jumlah penyair dan puisi di Indonesia ternyata menimbulkan rasa prihatin dalam diri segelintir pihak. Nermi Silaban, penyair Bekal Kunjungan (2017), menggambar di akun sarana sosialnya: "Semakin hari puisi semakin receh dan amburadul…"

Akan halnya pernyataan tersebut, Saut sependapat. Menurutnya, absennya tradisi celaan sastra di Indonesia (nan diperparah dengan absennya media tentang Sastra yang baik seperti di Barat sana) menciptakan menjadikan karya-karya populer sebagaimana novel Andrea Hirata dan Tere Liye, sekali lagi muslihat memoar, perjalanan, setakat puisi-esai Denny JA secara sembarang tambahan pula dilabeli karya sastra.

"Dalam kondisi begini, masak syair tidak terpengaruh (menjadi receh dan amburadul), kan tidak mungkin."

Infografik Mozaik Hari Puisi Sedunia

Infografik Mozaik Masa Puisi Sedunia. tirto.id/Quita


Terharu Namun Serta merta Penuh Tawa Tawa

Kendati UNESCO menyebut puisi sebagai andalan leluri lisan dan, selama beratus-ratus, sanggup mengkomunikasikan nilai-nilai terdalam dari berbagai ragam budaya, lain dipungkiri bahwa privat banyak keadaan—terutama intern soal kekurangan persen—tingkah penyair malah enggak jarang menerbitkan gelak.

Momen masih berkarya bagaikan pejabat toko Bata di bilangan Petojo, Jakarta Pusat, Ramadhan K.H. sering mengakui kunjungan kawan-kawannya. Riuk seorang yang comar datang ke situ buat melihat-lihat sepatu adalah Toto Sudarto Bachtiar, penyair yang sajak-sajaknya buruk perut dibacakan internal perlombaan (antara enggak tembang "Pahlawan Bukan Dikenal" dan "Amoi Peminta-minta").

Sehabis ngobrol ngalor ngidul dan menilik-nilik dagangan, alih-alih duit, Toto malar-malar memasrahkan beberapa sajak kepada Ramadhan bakal menebus sepatu yang diinginkannya. Ya, di samping kepala toko, Ramadhan kembali bekerja sebagai redaktur majalah Siasat, ruang di mana Toto melansir karya-karyanya. Konon, kebiasaan menghadapi teman-imbangan varietas itulah yang kemudian membuat Ramadhan K.H. berhenti bekerja dari Bata.

Serupa tapi lain sejajar, Sitor Sitomorang pelahap menghapal dan membacakan syair-sajaknya di tempat-tempat bukan terselami. Alasannya praktis namun: bagi penyair, syair ialah senjata, lazimnya seorang samurai menjabat katana ke mana-mana.

Suatu ketika Sitor bertandang ke kediaman sejarawan J.J. Rizal. Sehabis tuan rumah menyuguhi Sitor sayur asem, sebagai ungkapan terimakasih, Si Anak Hilang pun membacakan beberapa puisinya. Konon, dalam peristiwa darurat—saat hendak menenggak sahifah namun komisi enggak ada, misalnya—upaya mempersenjatai diri ala Sitor ini terbilang layak ampuh.

Dengan segala variannya, sikap-sikap eksentrik macam itu tetap bertahan setakat sekarang. Di Bandung, misalnya, sendiri perkongsian persaudaraan sengaja memanjangkan rambut, berpakaian kumal, berkenalan dengan penyanyi dangdut, bermimpi dan melanglang tersendeng-sendeng semalaman sepanjang Jalan Braga, kemudian wicara situasi-keadaan berat—filsafat, makna daun anjlok dan gerimis, setakat album konstruksi-gedung renta—semata untuk menabalkan citra dirinya laksana penyair.

Mendengar cerita macam itu, penyair Beni Satryo berkomentar: "Individu-orang terlalu sibuk menjadi penyair, sampai lupa menulis puisi."

(tirto.id - Sosial Budaya)

Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Windu Jusuf

Mengapa Kamu Memilih Puisi Dari Penyair Tersebut,

Source: https://tirto.id/mengapa-para-penyair-kerap-dipuja-dan-direndahkan-gblM

Posted by: stacyaporder1979.blogspot.com

0 Response to "Mengapa Kamu Memilih Puisi Dari Penyair Tersebut"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel